Menjadi ibu mengajarkanku tentang pentingnya jeda. Dulu, aku merasa harus terus bergerak, memberi, dan menjalani semua peran tanpa cela. Tapi setelah melahirkan Ghassa anak pertama dan terakhir bagi aku dan kami, saat baby blues dan Postpartum Depression (Depresi Pasca Melahirkan) menghampiri, aku mulai tenggelam dalam perasaan kehilangan diri.
Postpartum Depression (Depresi Pasca Melahirkan) bukan hanya sekadar rasa sedih setelah melahirkan. Rasanya seperti kehilangan arah saat seharusnya aku sedang bersinar sebagai ibu baru. Ada hari-hari saat aku menangis diam-diam, merasa tidak cukup baik, bahkan kehilangan koneksi dengan diriku sendiri dan kadang juga dengan Ghassa, bayiku. Ini bukan karena aku tak bersyukur, tapi karena tubuh dan jiwaku sedang berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan peran baru, perubahan hormon, kelelahan, dan tekanan ekspektasi.
Dari sanalah aku belajar bahwa berhenti bukan berarti menyerah, jeda justru menjadi jalan untuk kembali hadir. Hadir pada diriku sendiri, sebelum hadir bagi orang-orang tercinta.
Aku mulai memberi ruang untuk tidur tanpa rasa bersalah, makan dengan tenang, dan istirahat sebagai bentuk kasih pada tubuhku. Aku belajar bahwa produktivitas bukanlah segalanya. Kadang, duduk diam dan bernapas perlahan pun adalah bentuk pertumbuhan yang tak kalah bermakna.
Dulu aku merasa setiap hari seperti lomba tanpa garis akhir bangun lebih pagi, tidur paling akhir, memastikan semuanya berjalan. Namun, di masa baby blues dan Postpartum Depression (Depresi Pasca Melahirkan), aku merasakan kebingungan mendalam dan seolah menjauh dari jati diriku sendiri.
Setelah menyadari pentingnya merawat diri, aku mulai mengambil langkah-langkah kecil namun berarti bagiku. Aku memberi izin pada diriku sendiri untuk tidur cukup tanpa merasa bersalah, makan dengan perlahan tanpa dikejar waktu, dan beristirahat sebagai bentuk cinta pada tubuh dan pikiranku yang lelah.
Bagi orang lain, mungkin itu hal sepele. Tapi bagiku, itulah cara kembali mengenal diriku kembali. Aku mulai belajar bagaimana berdamai dengan ketidaksempurnaan, dan belajar bahwa menjadi ibu bukan soal melakukan segalanya dengan benar tapi tentang keberanian untuk terus jujur, tumbuh, belajar, dan hadir, baik untuk anakku maupun untuk diriku sendiri.
Aku pun mulai berdamai dengan kenyataan bahwa produktivitas bukan hanya materi dalam bentuk uang. Kadang, duduk diam dan bernapas perlahan di tengah kekacauan adalah bentuk pertumbuhan yang paling jujur. Dan itu cukup. Aku cukup.
Taking a pause wasn’t an easy decision berhenti sejenak dari rutinitas kerja kantoran bukan keputusan yang mudah, tapi itu sangat perlu. Di masa itu, aku merasa sangat didukung oleh keluargaku, bukan lewat gestur besar, tapi dari pemahaman mereka yang diam-diam namun dalam. They didn’t question my decision to resign from my 9 to 5 job, meskipun pekerjaan itu dulu terlihat “stabil”. Instead, they gave me space dan percaya bahwa aku akan menemukan jalanku sendiri untuk pulih. Support mereka yang tenang dan penuh kepercayaan itulah yang jadi bagian penting dari proses sembuhku.
Selama masa jeda itu, I slowly began rebuilding a version of myself that felt more aligned and peaceful. Aku mulai mengambil langkah kecil ikut volunteering di Ibu Punya Mimpi, gabung ke komunitas, hadir di event dan webinar tentang mental health dan pengembangan diri. I found joy in little things too, menulis to-do list sederhana, membuat target harian kecil, dan menyisihkan waktu untuk membaca. Hal-hal sehari-hari yang terlihat sepele itu ternyata membantu aku kembali bukan cuma ke rutinitas, tapi ke diriku sendiri.
Untuk bisa belajar hadir kembali untuk diriku sendiri. Aku juga belajar untuk tidak selalu berkata “Ya”. Sometimes, saying ‘no’ is not selfish, it's an act of courage. It’s about setting boundaries that protect your well-being and help you stay true to yourself. Don’t feel guilty for prioritizing your mental and emotional health. Healing is a journey, and every little step you take towards it counts.
Aku sadar bahwa asking for help itu nggak selalu harus diucapkan dengan kata-kata, “tolong aku.” The first step for me was having the courage to be honest with myself. Buatku, semuanya dimulai dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri, mengakui apa yang sebenarnya aku rasakan dan alami.
The next step was opening up to others. Pelan-pelan, aku mulai berbagi dengan orang-orang yang paling aku percaya: Ayah, Mama, suami, sahabat, dan rekan kerja. I spoke gently and sincerely, tanpa drama, tanpa tekanan. And from there, support started to come sometimes in silent ways, but always meaningful.
Keluargaku nggak pernah menuntut ini-itu atau mengomentari keputusan-keputusan yang aku ambil. Mereka memberikan ruang untuk heal in my own way. Suamiku pun pelan-pelan belajar memahami bahwa kesehatan mental, kejujuran terhadap perasaan, dan personal growth adalah hal yang penting buatku. Their quiet acceptance and support felt like a warm hug nggak terlihat, tapi sangat terasa.
Teman-temanku pun nggak pernah menghakimi. Mereka memvalidasi perasaanku, memberi ruang untuk bernapas, dan sering mengingatkanku untuk slow down, take it easy. Dukungan dari mereka terasa tulus dan ringan, tapi punya efek besar.
Dan yang sangat membantu, aku mendapat dukungan profesional dari psikolog dan psikiater yang welcomed me with open arms. Mereka mendengarkan kisahku tanpa menghakimi, memberi arahan yang lembut, meresepkan obat saat dibutuhkan, dan mengikuti proses penyembuhan dengan penuh empati. All of these became the anchors that kept me afloat and helped me slowly heal.
If you’re feeling overwhelmed, reach out. You don’t have to do this alone. Asking for help is a sign of strength, not weakness. Every small step you take towards caring for yourself is a big victory. Keep going, Ibu. You are incredible.
Allow yourself to slow down, reflect, and reconnect with what truly brings you peace and joy. You don’t have to be perfect or have everything figured out. Being present with your feelings, even the messy ones, is part of growth.
Sometimes, taking a step back is the bravest step forward. If this story resonates with you, please share it with other mums who might need to hear it too. Let’s build a community of support and encouragement, because together, we are stronger.
Tulisan ini untuk para Ibu yang mungkin merasa lelah tanpa jeda. Kamu tidak sendiri. Kamu berhak istirahat. Kamu berhak hadir sepenuhnya dalam hidupmu sendiri.
#IbudanKeluarga #Edisi_1 #Mendobrak_Batas
Credit ilustrasi oleh Khairina Sari