Kalau Kamu Pernah Merasa “Cuma Ibu Rumah Tangga” Artikel Ini untuk Kamu

Luthfi

“Cuma ibu rumah tangga, ya?”

Kalimat itu mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang. Namun, buat sebagian dari kita, itu seperti cap tak kasat mata, seolah kita berhenti bermakna begitu memilih tinggal di rumah. Seolah dunia kita hanya sebatas dapur, popok, cucian, dan rutinitas tanpa akhir.

Padahal kenyataannya? Jauh dari “cuma”. 

Kamu yang tiap pagi sudah siaga sejak sebelum matahari terbit. Kamu yang tahu bedanya tangis lapar, bosan, sakit, atau kelelahan hanya dari nada suara anakmu. Kamu yang bisa menyelesaikan tiga pekerjaan sekaligus dengan dua tangan dan satu hati yang sering kali lelah tapi tetap penuh cinta.

Kalau kamu merasa tidak terlihat, tidak dihargai, bahkan tidak “cukup”, kamu tidak sendiri.

Aku Juga Pernah Ada di Titik Itu

Namaku……ya, Ibu. Layaknya, kamu.

Aku pernah merasa kecil di hadapan pertanyaan sederhana seperti, “Sekarang sibuk apa?”

Pernah ragu saat ingin membeli sesuatu untuk diri sendiri. Aku ingin membelikan sesuatu untuk diriku sendiri seperti baju baru, skincare, atau bahkan hanya makanan kesukaan.

Tapi muncul pikiran, “Emang perlu, ya?”, “Uangnya mending buat kebutuhan anak aja deh.”. Padahal yang kubutuhkan bukan barangnya, tapi rasa berharga, bahwa aku juga layak dipenuhi, bukan cuma memberi terus-menerus.

Titik Balik itu Bukan dari Orang Lain, Tapi dari Diri Sendiri

Aku mulai dari yang paling sederhana, mendengarkan diriku sendiri.

Aku mulai menulis lagi, bukan untuk validasi, tapi untuk menyapa sisi diriku yang lama tertidur. Aku berbagi cerita di media sosial, tentang tawa, lelah, tangis, syukur, bahkan rasa sepi menjadi seorang Ibu. Awalnya ragu, takut dicap curhat lebay. Tapi yang datang justru pelukan virtual dari Ibu-Ibu lain: 

“Aku juga ngerasain itu”.

“Makasih udah nulis ini. Akhirnya ada yang ngerti perasaanku”.

Dari situ, aku sadar: kita ini nggak pernah “cuma” Ibu Rumah Tangga. 

Kita ini penjaga irama keluarga, pemimpin kecil di rumah yang tak pernah tidur, penjaga kesehatan mental keluarga, dan penjembatan harapan anak-anak. Kita multitasking, multidimensi, dan (kadang) multi-talenta, walau semua tak terlihat di Curriculum Vitae (CV).

Aku belajar pelan-pelan. Bikin konten, ikut kolaborasi, mulai proyek kecil dari rumah. Semua dimulai dari rasa ingin “terlihat” lagi, oleh diri sendiri, bukan orang lain. Dan ternyata, ketika kita memberi ruang untuk bertumbuh, sekecil apa pun, kita juga memberi izin bagi ibu lain untuk melakukan hal yang sama.

Kamu Berhak Bertumbuh dengan Caramu Sendiri

Kalau kamu membaca ini sambil menemani anak makan atau menahan kantuk karena belum sempat istirahat, aku cuma mau bilang: kamu cukup.

Tapi kamu juga boleh lebih dari cukupKamu boleh bermimpi. Kamu boleh belajar lagi. Kamu boleh memulai dari hal kecil.

Karena ketika kamu memberi ruang untuk bertumbuh, kamu sedang mengajarkan anakmu bahwa Ibunya adalah perempuan yang utuh. Bukan sempurna, tapi nyata. Dan itu jauh lebih berharga dari apapun. 

Sekarang, Giliran Kamu

Kalau kamu pernah merasa tidak terlihat. Kalau kamu pernah menangis diam-diam di kamar mandi. Kalau kamu pernah ragu, “Masih boleh nggak sih aku punya mimpi?”, 

Jawabannya, Boleh. Bahkan harus

Aku ingin mengajakmu untuk berbagi cerita. Apa yang jadi batas terbesarmu? Dan apa langkah kecil yang sudah (atau ingin) kamu ambil untuk mendobraknya?

Tulis kisahmu. Bisa di caption Instagram, blog, atau voice note untuk dirimu sendiri. Karena di balik cerita seorang Ibu, selalu ada kekuatan yang layak dibagikan.

Kita tidak harus melompat jauh. Kita hanya perlu melangkah satu langkah kecil yang konsisten. Karena kamu bukan “cuma”. Kamu adalah Ibu, dan itu adalah awal dari segalanya.

#CeritaPerubahan #Edisi_2 #Mendobrak_Batas
Credit ilustrasi oleh Shanty Manurung