“Aku sudah jadi Ibu, masih mungkin sekolah lagi?”
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku selama bertahun-tahun. Sejak menjadi Ibu, hidupku dipenuhi dengan rutinitas tanpa henti: mengurus rumah, mendampingi anak, dan tetap bekerja. Di tengah kesibukan itu, mimpi untuk melanjutkan sekolah S2 terasa seperti angan-angan belaka—sesuatu yang terlalu rumit untuk dipikirkan.
Tapi suatu hari, aku berhenti dan bertanya ke diriku. “Kalau aku tidak memulai mengejar mimpiku sekarang, kapan lagi?”
Aku mulai dengan langkah kecil, sederhana namun penuh kepercayaan diri. Di waktu luangku yang berharga, diam-diam mencari informasi beasiswa magister, menyusun rencana belajar, sampai berbagi mimpi kepada pasangan dan keluarga.
Aku tahu mimpi ini tidak akan mudah. Tapi aku percaya, seorang Ibu juga berhak bermimpi besar, termasuk aku.
Ada yang meragukanku. “Ngapain sih repot sekolah lagi?” kata seorang teman. Tapi aku tahu, mendobrak batas itu memang tidak selalu diterima semua orang. Aku memilih untuk percaya pada suara hatiku sendiri.
Butuh waktu empat tahun setelah menjadi ibu untuk akhirnya bisa kembali mengejar mimpi yang sempat tertunda ini. Perjalanan ini bukan tanpa ragu, lelah, atau air mata. Namun dalam setiap fase menjadi ibu, aku semakin yakin bahwa mendidik diri sendiri adalah bentuk cinta yang lain—cinta yang tidak hanya mendewasakan diri, tapi juga memberi contoh nyata bagi anak. Aku ingin menjadi sumber manfaat dan inspirasi, dimulai dari ruang terkecil: diriku sendiri dan keluargaku. Aku ingin anakku tumbuh dengan melihat bahwa belajar adalah proses seumur hidup, bahwa seorang perempuan bisa tetap bermimpi besar meski telah menjadi ibu. Bahwa pendidikan bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab untuk memberi manfaat kepada sekitar.
Dan akhirnya, aku diterima di Program Master Bidang Kebijakan Ekonomi dengan beasiswa pada 5 Universitas di 5 negara sekaligus. Di antaranya University of Edinburgh UK, Dublin City University Ireland, Kyoto University Jepang, Australia National University, dan University of Auckland New Zealand.
Pencapaian ini rasanya seperti berhasil membuka pintu yang lama terkunci. Aku sebentar lagi akan kembali menjadi murid—bukan hanya di ruang kelas, tapi juga dalam kehidupan. Aku pun harus bersiap lebih disiplin membagi waktu dan bekerja sama dengan support system yang ada. Perlu adaptasi memang. Tapi aku siap.
Hari ini, aku menulis ini bukan sebagai Ibu yang sempurna. Melainkan sebagai Ibu yang terus belajar, tumbuh, dan berani memilih jalan yang tidak biasa. Percayalah, ketercapaian sebuah mimpi tidak bergantung kepada seberapa banyak waktu yang kamu miliki. Hanya seseorang yang berani meluangkan waktu yang memposisikan mimpi jadi prioritas lah yang berhasil mencapainya.
Untukmu, Ibu yang sedang memendam mimpi: jangan tunggu semuanya menjadi sempurna. Mungkin kamu tidak bisa melakukan semuanya sekaligus, tapi kamu bisa mulai dari satu langkah kecil. Satu langkah kecil menjadikan perubahan. Mimpi kita, sekecil debu apa pun, layak dan pantas untuk diperjuangkan.
Jadi, mau lanjut sekolah lagi ke jenjang lebih tinggi ? Lanjut mengejar mimpi? Kenapa tidak?
#Cerita_Perubahan #Edisi_1 #Mendobrak_Batas
Credit ilustrasi oleh Shanty Manurung