
Dulu, kalimat itu terasa menenangkan. Tetapi sejak aku berdiri sendiri mendampingi momen kepergian pasanganku untuk selamanya, kata-kata itu justru terdengar klise. Terucap berkali-kali, namun sulit sekali masuk ke dada.
Setiap kali orang berkata, “Kamu kuat ya. Kamu hebat bisa melalui ini,” aku hanya bisa mengangguk. Dalam hati, aku berbisik lirih,“Tidak, aku tidak sekuat itu. Aku hanya berusaha menjalani peranku saja, selangkah demi selangkah”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kuat memiliki makna yang luas, meliputi banyak tenaga, tahan lama (awet), teguh (tidak mudah goyah), ketat, kencang (angin), berat, keras (suara), erat (ikatan), serta memiliki keunggulan atau kecakapan dalam bidang tertentu.
Dalam dunia kebugaran jasmani, kekuatan adalah kemampuan otot untuk menahan beban saat melakukan aktivitas. Seperti yang dijelaskan oleh Harsono (1988) pada buku Coaching dan Aspek Psikologi bahwa kekuatan muncul ketika otot berulang kali berkontraksi menghadapi tahanan.
Dalam dunia psikologi, makna kuat merujuk pada karakter dan mental. Suhardi (2016) menyebut mental kuat adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi tekanan, rintangan, dan kesulitan hidup dengan kesabaran, ketahanan emosional, optimisme, dan kemandirian.
Lalu, dimana letak “kekuatan” seorang perempuan dengan satu anak yang ditinggalkan suaminya berpulang ke hadapan Maha Kuasa?
Sungguh kata-kata kuat yang aku terima sejak menjadi single mom sangat sulit aku cerna.
Karena di pikiranku masih penuh dengan pemaknaan kuat sebagai sebuah tenaga. Sebuah kata yang mewakili sebuah ketegaran kokoh seperti besi. Tidak tumbang. Tidak cengeng.
Sementara apa yang kuhadapi yang kujalani tidak seperti itu. Aku menangis. Aku kalang kabut. Aku galau. Dan masih banyak lagi kata yang bertolak belakang dengan makna kuat menurutku.
Hingga suatu waktu aku dihadapkan pada sebuah video pendek pengalaman seorang ibu tunggal. Kisahnya sangat inspiratif. Dia bercerita, sejak menjadi ibu tunggal ia menganalogikan hidupnya seperti latihan mengangkat beban barbel. Awalnya berat sekali, tapi karena rutin dilakukan dijalani, akhirnya beban barbel itu terasa ringan. Bahkan, suatu saat kita bisa menambah bebannya. Bukan karena hidup makin mudah, tetapi karena diri kita bertambah kuat.
Tak lama setelah itu, aku menonton penjelasan seorang psikolog tentang ketahanan mental. Katanya, seseorang disebut kuat bukan karena ia tak pernah bersedih, tetapi karena ia mampu:
Aku segera merefleksi diri. Berkaca dan bertanya pada diri sendiri. Benar, ternyata aku kuat selama ini. Aku hanya salah memaknai kata “kuat”.
Aku menangis, tapi tetap melangkah.
Aku terluka, tapi tetap mengurus anakku.
Aku goyah, tapi terus semangat dan berusaha bangkit setiap hari.
Kuatnya seorang Ibu tidak bisa diukur dari seberapa jarang ia menangis, atau seberapa cepat ia bangkit. Tidak ada timbangan, Tidak ada standar spesifik, dan tidak ada kompetisi.
Setiap ibu punya definisi kuatnya masing-masing. Jadi, temukan makna kuatmu, Bu. Pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru.
Kuharap cerita perubahan ini bisa jadi teman perjalanan menemukan "kuatmu". Semoga bisa mengiringi prosesmu dalam memaknainya. Bukan sebagai patokan, mungkin jadi awal pencarian. (GP/OPP)
__
#CeritaPerubahan #Edisi_3 #Final_Sprint
Credit ilustrasi oleh Khairina Sari