Menciptakan Ruang Kerja Inklusif Bagi Ibu Bekerja Dimulai Dari Mana?

IPM

Hallo ibuprenuers! Pernah tidak ibuprenuers mengalami diskriminasi di tempat kerja karena status ibu sebagai ibu balita? Apalagi memang tidak semua tempat kerja memiliki kebijakan inklusif bagi ibu bekerja. Walaupun begitu, ada beberapa ruang yang mendukung ibu untuk belajar, berkarir dan berkreatifitas.

Ibu Punya Mimpi dan Magdalene adalah contoh platform yang ramah kepada perempuan dengan beragam latar belakang. Ibu Punya Mimpi memiliki beragam program pengembangan diri bagi ibuprenuers, contohnya APMI (Akademi Penulis Mimpi Ibu). Kemudian, Magdalene juga memiliki segmen WomenLead yang mendukung pengembangan karir, tempat kerja inklusif, dan kepemimpinan perempuan. Dua platform tersebut membawa angin segar untuk membangun kesadaran masyarakat, bahwa menciptakan ruang kreatifitas bagi para ibu bukanlah hal yang mustahil. Ini adalah praktik baik dalam membuka ruang karir yang inklusif.

Ibu bekerja merupakan bentuk keragaman identitas pekerja. Sayangnya, masih banyak perusahaan atau lembaga yang menganggap mempekerjakan ibu balita sangat merepotkan. Padahal, Studi World Bank menunjukkan bahwa keragaman di tempat kerja dapat memberikan keuntungan, yakni membantu meningkatkan produktivitas hingga 40%. Selaras dengan itu, kajian ILO menunjukkan keragaman di tempat kerja dapat meningkatkan keuntungan hingga 20%.

Terkadang ada perusahaan atau lembaga yang memiliki kebijakan inklusif, tapi staffnya tidak serta merta memiliki perspektif demikian. Hal ini seperti yang dialami oleh Dila (bukan nama sebenarnya). Dila adalah seorang ibu bekerja yang memiliki anak balita. Selama ini, Dila mengasuh anak dengan suami, kadang-kadang dibantu adiknya. Sejak adiknya diterima kerja, sang anak hanya diasuh berdua bersama suami. Dila tidak punya baby sitter karena penghasilan rumah tangganya tidak cukup untuk merekrut baby sitter atau menitipkan anak ke daycare.

Suatu hari, Dila mendapat kesempatan untuk ikut kegiatan ke luar kota. Dila diperbolehkan membawa anak dan pengasuh oleh atasannya. Dila berencana membawa suaminya sebagai pengasuh anaknya selama kegiatan. Sayangnya, Dila mendapat nyinyiran dari rekan kerjanya karena membawa suaminya sebagai pengasuh. Rekan kerjanya sempat melempar komentar bahwa Dila hendak “piknik keluarga,” komentar yang membuat Dila merasa insecure dan memutuskan tidak jadi berangkat dalam kegiatan tersebut.

Dari cerita tersebut, tampaknya masih banyak individu di lingkungan kerja yang tidak memahami kondisi sosial ekonomi pekerja. Selain itu, masih banyak orang yang menganggap bahwa pengasuhan hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Disisi lain, dalam artikel Why Working Moms Fall Behind yang ditulis Vanessa LoBue Ph.D di Psychologytoday.com, dijelaskan bahwa menurut riset, ketika ayah mengambil cuti panjang setelah kelahiran anak, laki-laki merasa lebih nyaman merawat bayi yang pada akhirnya melibatkan laki-laki dalam berbagi tanggung jawab pengasuhan. Riset ini menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan berdampak positif bagi ibu dan anak.

Lantas tempat kerja inklusif itu seperti apa? Menurut toolkit panduan Inklusivitas Kolaborasi Seni dan Kreatif yang disusun oleh Tim Ketemu Project, tempat kerja inklusif adalah “ruang kerja yang tak memberikan hambatan bagi pengguna dengan berbagai kebutuhan berbeda. Inklusivitas memungkinkan semua orang untuk memiliki kesempatan berpartisipasi yang setara, dengan penuh percaya diri dan secara mandiri dalam beraktifitas. Tempat kerja inklusif tak hanya mengakomodasi penyandang disabilitas, tapi juga lansia dan keluarga yang memiliki balita.”

Lalu, apa yang bisa ibuprenuers lakukan untuk menciptakan ruang kerja yang inklusif bagi ibu bekerja? Banyak hal sederhana yang bisa ibuprenuers lakukan selain menyediakan ruang laktasi di tempat kerja.